Pages

Translate

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 11 Oktober 2011

Masih bermasalah, DPR ngotot sahkan RUU Intelejen (?)

JAKARTA (Arrahmah.com) – Seperti yang telah diduga sebelumnya, momentum bom Solo dijadikan alasan sebagai ‘kondisi’ yang menuntut keberadaan RUU Intelejen kian mendesak. Bahkan tidak hanya itu, belakangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengajukan penambahan biaya operasi dari 1,2 triliyun menjadi 2,5 triliyun, namun disetujui akan dinaikkan ‘hanya menjadi’ 1,4 triliyun.
Masih memanfaatkan peristiwa bom Solo, Badan Intelejen Negara (BIN) mendesak DPR segera mengesahkan RUU tersebut dengan alasan intelijen butuh payung hukum untuk mengatasi kasus ‘terorisme’. Terkait hal tersebut semua fraksi di DPR telah sepakat dengan RUU tersebut, dan kabarnya RUU Intelejen akan disahkan melalui sidang paripurna DPR hari Selasa (11/10/2011).
Seperti diketahui, banyak pihak menentang pengesahan RUU Intelejen karena meskipun sudah mengalami perombaan dalampasal-pasal yang dinilai ‘sensitif’, tetapi tetap saja masih banyak kalimat-kalimat yang terdefinisi secara kabur dan justru bertentangan dengan hukum yang ada dan hak asasi manusia.
Sebagian lain, menilai RUU ini tidak perlu, karena fungsi dan peran intelijen yang diharapkan  dalam RUU tersebut telah ada dalam pranata hukum dan perundang-undangan yang ada. Hukum-hukum yang ada dianggap sudah mencukupi, guna mencegah dan menindak para pelaku teror.
Fakta di lapangan menunjukkan banyak kasus ‘terorisme’, bisa dicegah dengan menggunakan aturan yang sudah ada, misalnya Undang-undang tentang terorisme. Namun, sayangnya DPR seolah tak memperdulikan pendapat-pendapat dari berbagai kalangan tersebut, dan meremehkan pendapat dari sebagaian besar rakyat.
Berbagai pasal yang dianggap ‘bersayap dalam makna’, dalam draft terakhir, ternyata belum banyak berubah. UU tersebut dikhawatirkan menjadi alat bagi pihak tertentu (yang berlindung di balik nama pemerintah) untuk bertindak sewenang-wenang dan represif terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
Sebagai contoh, frase “ancaman nasional” dan “keamanan nasional”, definisinya tidak jelas dan multitafsir. Begitu juga “lawan dalam negeri”, siapa yang dimaksud ‘lewan dalam negeri’ tersebut tidak dijabarkan dalam criteria yang jelas. Tolok ukur yang dapat mengancam kepentingan dan keamanan nasional sangat lentur untuk menarget seseorang jadi sasaran kegiatan intelijen.
Kelenturan RUU Intelijen tidak mustahil disalahgunakan demi kepentingan politik kekuasaan atau kelompok tertentu untuk membungkam sikap kritis dan kritik atas kebijakan penguasa.
Bisa dipastikan, UU Intelijen akan berpotensi merugikan rakyat. Khususnya umat Islam, terutama aktivis Islam yang sangat berpeluang menjadi korban. Boleh jadi, upaya penegakan ajaran Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan al-Hadits, akan dipersepsikan sebagai ancaman, demi kepentingan asing dan pihak tertentu.
Disamping itu, elemen masyarakat yang bersuara kritis, begitu juga dengan para jurnalis pun akan bisa menjadi korban dengan dalih mengancam keamanan atau kepentingan nasional yang ditafsirkan secara objektif oleh penguasa.
Hanya berselang empat hari setelah Bom Solo, DPR menyetujui kenaikan anggaran BIN sebesar Rp. 200 milyar. Awalnya Rp. 1,2 trilyun menjadi Rp. 1,4 trilyun.
Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq mengatakan, kenaikan Rp. 200 miliar untuk BIN tidak terlalu besar. Mahfudz yang merupakan fraksi PKS itu menjelaskan, Komisi I mendorong agar BIN bisa meningkatkan kemampouan dan kinerja bidang intelijen.
Bukan hanya BIN yang mendapatkan “suntikan” tambahan anggaran. BNPT  (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) pun kecipratan. Dalam rapat tertutup dengan Komisi III DPR, BNPT mengajukan anggaran sebesar Rp. 126 milyar untuk proyek deradikalisasi. Sumber di DPR menyebutkan, melalui proyek ini BNPT akan menargetkan 800 ribu masjid dan 40 ribu pesdantren sebagai mitra BNPT. Malah, BNPT sudah menandatangani kerjasama dengan beberapa ormas Islam untuk proyek deradikalisasi.
Kepala BIN Sutanto rupanya tidak hanya mendorong DPR agar segera mengesahkan RUU Intelijen menjadi UU. Lebih dari itu, mantan Kapolri ini berharap, agar UU Terorisme No. 15 tahun 2003 bisa segera direvisi dengan memasukkan pasal mengenai informasi intelijen.
Terkait hal tersebut bertempat di Hall Volley GBK Senayan, sekitar tiga ribu ulama yang tergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia melakukan unjuk rasa untuk menolak disahkannya RUU Intelijen, karena dianggap sebagai penghalang dakwah Islam.
Mengomentari ucapan salah satu anggota Komisi I DPR RI yang pernah menyatakan bahwa tidak perlu kuatir dengan disahkannya RUU Intelijen ini selama tidak mengancam empat pilar bangsa, yang salah satu pilarnya adalah Pancasila, Ismail menegaskan bahwa hal tersebut hanya retorika.
“Ketika privatisasi, kenapa tidak dikatakan sebagai ancaman terhadap Pancasila? Tetapi ketika ada perjuangan menegakkan khilafah disebut mengancam Pancasila?” ungkap Ismail Yusanto, juru bicara HTI, di tengah hadirin yang berasal dari Jabodetabek ini.
Seperti diketahui publik, RUU ini katanya dimaksudkan untuk menjaga ‘ketahanan ideologi’ dari ancaman yang datang dari mana pun. Tapi, ketika privatisasi yang jelas-jelas memberikan peluang asing untuk menguasai sektor publik, hal tersebut tidak dianggap sebagai ancaman.
Dan tentu saja yang sudah tidakperlu diragukan lagi, proyek deradikalisasi dan pemulusan RUU Intelejen tak lepas dari peran kaki tangan antek Amerika yang berniat menekan dan mencengkeram kebangkitan dakwah Islam di Indonesia. Wallohua’lam. (dbs/arrahmah.com)

0 komentar:

Posting Komentar

Share |